A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Lingkungan persaingan yang semakin tajam dan bersifat global menuntut
perusahaan meningkatkan mutu dan keunggulan daya saing yang dipengaruhi oleh dua
faktor penting yaitu mutu yang tinggi dan biaya yang rendah. Perusahaan-perusahaan
manufaktur berusaha melakukan perbaikan terus menerus biasanya menggunakan teknik-teknik total quality management (TQM) atau Just-In-Time (JIT). Beberapa perusahaan yang telah menerapkan TQM, ada yang telah berhasil meningkatkan kinerjanya, tetapi ada juga yang belum mampu meningkatkan kinerjanya (Sim dan Killough, 1998).
Beberapa peneliti bidang akuntansi menyatakan bahwa kinerja perusahaan yang
rendah, disebabkan oleh ketergantungannya terhadap Sistem Akuntansi Manajemen
perusahaan tersebut yang gagal dalam penentuan sasaran-sasaran yang tepat, pengukuran
kinerja, dan sistem penghargaan (reward). Efektifitas penerapan TQM memerlukan
perubahan mendasar infrastruktur organisasional, meliputi: sistem alokasi wewenang
pembuatan keputusan, sistem pengukuran kinerja, sistem reward, dan hukuman.
Temuan Ittner dan Larcker (1995) tidak menemukan bukti bahwa organisasi yang
mempraktikan TQM dan Sistem Akuntansi Manajemen dapat mencapai kinerja yang
tinggi. Peneliti lainnya yaitu Sim dan Killough (1998) serta Kurnianingsih (2000)
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara praktik penerapan TQM
dengan desain Sistem Akuntansi Manajemen terhadap kinerja.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada Sistem Akuntansi Manajemen secara
universal selalu tepat untuk dapat diterapkan seluruh organisasi setiap keadaan, namun
Sistem Akuntansi Manajemen tergantung juga faktor-faktor kondisional yang ada dalam
organisasi. Penelitian tersebut merupakan replikasi dan ekstensi penelitian Kurnianingsih
(2000) yang melakukan replikasi dan ekstensi Ittner dan Larcker (1995), serta Sim dan
Killough (1998).
Kurnianingsih (2000) menguji praktik pemanufakturan TQM dan Sistem
Akuntansi Manajemen secara interaktif mempengaruhi kinerja manajerial. Ittner dan
Larcker (1995) yang memfokuskan TQM, tiga komponen utama Sistem Akuntansi
Manajemen, antara lain: sasaran kinerja, sistem pengukuran kinerja, sistem reward
tingkat organisasional, serta kinerja berdasarkan kualitas dan keuangan. Sim dan Killough (1998) memfokuskan TQM/JIT, tiga komponen Sistem Akuntansi Manajemen sama dengan Ittner dan Larcker (1995) yang diterapkan tingkat operasi produksi.
Penelitian ini menggunakan variabel pemoderasi dengan alasan bahwa variabel
pemoderasi adalah suatu variabel independen lainnya yang dimasukkan kedalam model
karena mempunyai efek kontingensi dari hubungan variabel independen dan variabel
dependen sebelumnya. Dengan kata lain, variabel pemoderasi diidentifikasikan dari
penelitian sebelumnya mempunyai simpulan hubungan kausal yang hasilnya konflik, baik
konflik signifikasinya maupun konflik arahnya. Jika hal ini terjadi, mungkin dikarenakan
ada variabel lain yang memoderasi hubungan kausal. Suatu interaksi negatif terjadi jika
hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen lebih negatif untuk nilai variabel pemoderasi yang lebih tinggi (Jogiyanto, 2004: 142-145).
Shih (2001) memberikan bukti empiris yang menunjukkan adanya kesempatan
suatu perusahaan mengevaluasi kinerja manajer atas laba berhubungan positif dengan
pentingnya produk yang berkualitas dan pelayanan pelanggan. Profit center merupakan
pusat pertanggungjawaban yang prestasi manajernya diukur dari laba yang diperoleh
dalam suatu perioda tertentu (Fauzi, 1994). Profit center dapat berbentuk divisi apabila
kegiatan-kegiatan fungsional dilaksanakan oleh unit-unit kerja dalam lingkup satu
organisasi.
Kaliel (2000) menyatakan bahwa dengan mengkoordinasi masing-masing bagian
dalam perusahaan sebagai bisnis, menganalisis, merencanakan, dan pengambilan
keputusan. Dengan demikian akan memperbaiki produksi, keputusan manajemen, dan
kemampuan perusahaan meningkat dengan adanya profit center.
Perbedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: a) penelitian ini
hanya memfokuskan TQM, komponen Sistem Akuntansi Manajemen meliputi sistem
pengukuran kinerja dan kinerja karyawan yang didasarkan reward yang diberikan berupa
insentif yang diberikan secara individual, sedang kinerja yang diukur adalah kinerja manajerial serta b) penelitian ini juga menguji praktik pemanufakturan TQM dan profit center secara interaktif mempengaruhi kinerja manajerial. Penerapan TQM manajer mempunyai kendali yang lebih terhadap kualitas barang yang diproduksi, demikian pula kualitas barang yang tinggi memiliki pengaruh yang besar terhadap kepuasan pelanggan dan peningkatan penjualan (Shih, 2001). Jika penjualan digunakan sebagai isyarat kualitas produk dan pelayanan pelanggan, maka hal tersebut dapat digunakan untuk memotivasi manajer dalam menghasilkan kinerja yang lebih baik, dimana kinerja manajer dapat dievaluasi atas profit.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian Milgrom dan Roberts (1990), Snell dan James (1992), Banker et al. (1993), Ichniowski et al. (1997), Sim dan Killough (1998), Kaliel (2000), Kurnianingsih (2000), serta Shih (2001), rumusan masalah penelitian sebagai berikut: a) apakah interaksi penerapan TQM dan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial? b) apakah interaksi penerapan TQM dan sistem reward berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial? serta c) apakah interaksi penerapan TQM dan profit center berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a) untuk
mengetahui apakah interaksi penerapan TQM dan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial, b) untuk mengetahui apakah interaksi penerapan TQM dan sistem reward berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial, serta c) untuk mengetahui apakah interaksi penerapan TQM dan profit center berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
B. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Tinjauan Pustaka
a. Teori Kontingensi
Sistem Akuntansi Manajemen merupakan suatu pendekatan kontingensi dari
faktor kondisional yang digunakan dalam penelitian sebagai variabel yang memoderasi
suatu hubungan. Sesuai dengan pendekatan kontingensi Otley (1980) dalam Mardiyah
dan Gudono (2001), pendekatan kontingensi akuntansi manajemen didasarkan premis
bahwa tidak ada Sistem Akuntansi Manajemen secara universal selalu tepat digunakan
seluruh organisasi, namun Sistem Akuntansi Manajemen hanya sesuai (fit) untuk suatu
konteks atau kondisi tertentu saja. Teori kontigensi dalam metoda penelitian
mengargumenkan bahwa efektivitas desain Sistem Akuntansi Manajemen tergantung
eksistensi perpaduan antara organisasi dengan lingkungannya. Sistem Akuntansi
Manajemen dikatakan variabel pemoderasi yang mempengaruhi hasil hubungan antara
penerapan TQM terhadap kinerja manajerial. Apabila Sistem Akuntansi Manajemen fit
dengan konteks dan kondisi organisasi maka diproposisikan akan menimbulkan kinerja
superior.
Sistem Akuntansi Manajemen sering digunakan sebagai mekanisme untuk
memotivasi dan mempengaruhi perilaku karyawan dalam berbagai cara yang akan
memaksimalkan kesejahteraan organisasi dan karyawan. Sistem Akuntansi Manajemen
sebagai alat kontrol organisasi dan alat yang efektif menyediakan informasi yang
bermanfaat guna memprediksi konsekuensi yang mungkin terjadi berbagai aktivitas yang
dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Kurnianingsih (2000) memberikan bukti empiris
mengenai pentingnya desain Sistem Akuntansi Manajemen sebagai faktor kontingensi dalam upaya peningkatan kinerja. Dengan memasukkan dua faktor kontingensi, yaitu sistem pengukuran kinerja dan sistem reward terhadap keefektifan penerapan teknik Total Quality Management. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya interaksi antara variabel sistem pengukuran kinerja dan sistem reward mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial artinya perusahaan yang menerapkan teknik TQM secara langsung dapat meningkatkan kinerja manajerial.
Penerapan teknik TQM yang tinggi dengan sistem pengukuran kinerja yang
tinggi akan meningkatkan kinerja manajerial, begitu juga sebaliknya. Manajer akan lebih
termotivasi untuk meningkatkan kinerja manajerial, jika pengukuran kinerja yang tinggi
dalam bentuk informasi yang diperlukan yang memberikan umpan balik untuk perbaikan
dan pembelajaran. Selain itu pemberian kompensasi yang lebih baik kepada manajer juga
memotivasi dalam peningkatan kinerja. Banker et al. (1993) meyatakan bahwa kinerja
perusahaan yang rendah disebabkan oleh ketergantungan terhadap Sistem Akuntansi
Manajemen perusahaan yang gagal dalam penentuan sasaran yang tepat, pengukuran
kinerja, dan sistem reward.
Sim dan Killough (1998) menyatakan bahwa adanya pengaruh interaktif antara
praktik pemanufakturan (TQM) terhadap kinerja dengan desain Sistem Akuntansi
Manajemen. Salah satu fungsi dari Sistem Akuntansi Manajemen adalah menyediakan
sumber informasi penting untuk membantu manajer mengendalikan aktivitasnya serta
mengurangi ketidakpastian lingkungan dalam usaha mencapai tujuan organisasi dengan
sukses.
Efektifitas praktik TQM membutuhkan perubahan dalam Sistem Akuntansi
Manajemen. Ittner dan Larcker (1995) menggambarkan perubahan tersebut sebagai
kumpulan dari informasi baru dan dalam sistem reward. Adapun komponen-komponen
penting Sistem Akuntansi Manajemen yang akan digunakan dalam penelitian ini, terdiri
dari: sistem pengukuran kinerja dan sistem reward.
Profit center dalam penelitian juga digunakan sebagai variabel yang memoderasi
suatu hubungan dan sebagai faktor kontingensi dalam upaya peningkatan kinerja. Dengan
penerapan TQM manajer memiliki kendali terhadap kualitas barang yang diproduksi,
dengan demikian kualitas barang yang tinggi berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan
dan peningkatan penjualan. Tingkat penjualan digunakan sebagai isyarat kualitas produk
dan pelayanan pelanggan, oleh karena itu digunakan untuk mengevaluasi manajer pada
profit tentunya untuk memonitor kinerjanya perbaikan kualitas produk dan pelayanan
pelanggan (Shih, 2001).
b. Kinerja Manajerial
Mahoney et al. (1963) menyatakan kinerja (performance) adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Kinerja manajerial adalah kinerja individu anggota organisasi dalam kegiatan-
kegiatan manajerial antara lain: perencanaan, investigasi, koordinasi, pengaturan staf,
negosiasi, dan lain-lain.
Seseorang yang memegang posisi manajerial diharapkan mampu menghasilkan
suatu kinerja manajerial. Berbeda dengan kinerja karyawan umumnya yang bersifat
konkrit, kinerja manajerial adalah bersifat abstrak dan kompleks (Mulyadi dan Johny,
1999: 164).
Manajer menghasilkan kinerja dengan mengerahkan bakat dan kemampuan, serta
usaha beberapa orang lain yang berada didalam daerah wewenangnya. Kinerja manajerial
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi.
c. Konsep Total Quality Management
Total Quality Management merupakan suatu sistem manajemen yang berfokus
kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan
customers pada biaya yang sesungguhnya secara berkelanjutan terus menerus (Mulyadi,
1998: 10). Smith dan Lewis (1997) menjelaskan keefektifan TQM didasarkan empat
prinsip, kepuasan pelanggan, perbaikan berkelanjutan, menyatakan dengan fakta, dan
menghargai karyawan.
Banker et al. (1993) menjelaskan bahwa TQM meningkatkan keterlibatan
organisasi dalam meningkatkan kualitas secara terus menerus. Bertanggung jawab untuk
mendeteksi hal-hal yang tidak sesuai dengan pengendalian mutu, hal tersebut membuat
pekerja lebih bertanggung jawab untuk pengendalian mutu dan untuk menghentikan
produksi ketika ada suatu masalah dalam produksi.
Sim dan Killough (1998) menjelaskan bahwa Total Quality Management
merupakan suatu filosofi yang menekankan peningkatan proses pemanufakturan secara
berkelanjutan dengan mengeliminasi pemborosan, meningkatkan kualitas,
mengembangkan ketrampilan, dan mengurangi biaya produksi. Penelitian Banker et al.
(1993) memberikan gambaran praktik pemanufakturan TQM lebih menekankan
karyawan dalam memecahkan masalah, bekerja secara team work, dan membangkitkan
pendekatan inovatif untuk memperbaiki produksi. Banker et al. (1993) menyatakan
karyawan diminta mengidentifikasikan cara-cara untuk meningkatkan proses
pemanufakturan, mengurangi kerusakan, dan memastikan bahwa operasi perusahaan
berjalan efisien, serta lebih menekankan produk dan pelanggan (customer).
Waldman (1994) menyatakan bahwa TQM merupakan suatu sistem yang dirancang sebagai kesatuan, yang memfokuskan pendekatan pelanggan dengan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Meskipun banyak usaha untuk memasukkan TQM dalam organisasi, relatif kecil mengetahui seberapa besar keefektifan dan pengimplementasian strategi yang optimal.
Penting bagi manager untuk memberikan wewenang kepada karyawan untuk ikut
aktif dalam mengambil inisiatif dengan harapan keterlibatan karyawan dapat
meningkatkan proses produksi. TQM lebih memberdayakan atau lebih menekankan
keterlibatan karyawan, yang merupakan sumber yang sangat bernilai bagi organisasi.
Kebanyakan kegagalan dalam implementasi TQM itu disebabkan oleh pimpinan puncak
yang tidak secara aktif memimpin gerakan TQM atau bahkan menentangnya
(Hardjosoedarmo, 1996: 35).
d. Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem pengukuran kinerja yang sesuai digunakan dalam manajemen
kontemporer adalah sistem pengukuran kinerja yang memanfaatkan secara ekstensif dan
intensif tekhnologi informasi dalam bisnis (Mulyadi dan Johny, 1999: 214). Penelitian
Banker et al. (1993) menyatakan bahwa informasi kinerja pemanufakturan perlu
dilaporkan ke personal lini karena pelaporan informasi produktivitas dan kualitas kepada
personal lini akan memberikan umpan balik yang diperlukan untuk perbaikan dan
pembelajaran produksi serta frekuensi pelaporan ukuran kinerja pemanufakturan untuk
karyawan secara positif berhubungan dengan penerapan praktik TQM, team work, dan
Just-In-Time (JIT). Tujuan sistem pengukuran kinerja untuk mendorong pencapaian
tujuan strategis yang memfokuskan aktivitas organisasi dimasa depan.
Manfaat pengukuran kinerja bagi manajemen maupun karyawan menurut Halim
dan Tjahjono (2000): 1) mengelola operasi secara efektif dan efisien melalui
pemotivasian karyawan secara maksimum, 2) membantu pengambilan keputusan yang
bersangkutan dengan karyawan, seperti promosi, transfer, dan pemberhentian, 3)
mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan, pengembangan karyawan, menyediakan
kriteria seleksi, dan evaluasi program pelatihan karyawan, 4) menyediakan umpan balik
bagi karyawan mengenai bagaimana atasan menilai kinerja, serta 5) menyediakan suatu
dasar bagi distribusi reward.
Program peningkatan kualitas seperti TQM secara individual dapat efektif jika
perusahaan telah mengimplementasikan cara-cara untuk memperbaiki kualitas secara
terus-menerus dibandingkan dengan organisasi pesaing yang mengadakan improvement
dengan tidak menggunakan tehnik TQM, meskipun menyebabkan suatu pengurangan
(atau setidak-tidaknya tidak ada peningkatan) dalam kinerja. Milgrom dan Roberts (1990)
memberikan suatu kerangka teoritis yang mencoba menunjukkan isu mengenai
bagaimana hubungan antara sistem pemanufakturan berpengaruh terhadap kinerja.
Milgrom dan Roberts (1990) menyatakan bahwa organisasi sering mengalami
perubahan secara simultan dalam strategi persaingan dengan elemen desain
organisasional ketika mengalami perubahan yaitu dari pemanufakturan tradisional yang
menekankan produksi masa ke pemanufakturan dengan TQM. Selanjutnya komponen-
komponen atau pengaruh peran yang saling melengkapi sering meningkat pada kelompok
elemen-elemen tersebut yang akan meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Inti
rerangka Milgrom dan Roberts (1990) menyatakan bahwa berhasilnya implementasi dari
teknik pemanufakturan baru membutuhkan komponen-komponen Akuntansi Manajemen.
Dukungan studi mengenai keberadaan komplemen tersebut antara lain Sim dan
Killough (1995) menunjukkan interaksi yang signifikan antara praktik TQM dengan
Sistem Akuntansi Manajemen terhadap kinerja. Dengan demikian akan lebih baik jika
pengukuran kinerja secara langsung dihubungkan dengan kualitas, oleh karena itu
karyawan diwajibkan untuk memastikan bahwa kualitas dalam proses pemanufakturan
tetap pada pengawasan dan dapat secara terus menerus ditingkatkan hasilnya.
Akuntan manajemen semakin tertarik untuk memperluas penerapan sistem
pengukuran kinerja pemanufakturan baru. Selain itu juga harus mengembangkan
horizonnya dan menyadari perubahan yang terjadi dalam pemanufakturan jika akuntan
menginginkan untuk mempertahankan posisinya sebagai sumber utama terhadap
pelaporan kinerja dalam organisasi (Ijiri dan Sunder, 1990).
e. Sistem Reward
Siswanto (1989) dalam Halim dan Tjahjono (2000: 223) menyatakan kompensasi
adalah imbalan jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja karena telah
memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan serta kontinuitas perusahaan
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Sistem reward dan pengakuan atas kinerja karyawan merupakan sarana
untuk mengarahkan perilaku karyawan keperilaku yang dihargai dan diakui oleh
organisasi (Mulyadi, 1998: 434).
Reward menarik perhatian karyawan dan memberi informasi atau mengingatkan
akan pentingnya sesuatu yang diberi reward dibandingkan dengan yang lain, reward juga
meningkatkan motivasi karyawan terhadap ukuran kinerja, sehingga membantu karyawan
mengalokasikan waktu dan usaha karyawan. Reward berbasis kinerja mendorong
karyawan dapat mengubah kecenderungan semangat untuk memenuhi kepentingan diri
sendiri ke semangat untuk memenuhi tujuan organisasi (Mulyadi dan Johny, 1999: 227).
Dengan demikian kompensasi adalah semua bentuk return baik finansial maupun
non-finansial yang diterima karyawan karena jasa yang disumbangkan ke perusahaan.
Kompensasi dapat berupa finansial yaitu berbentuk gaji, upah, bonus, komisi, asuransi
karyawan, bantuan sosial karyawan, tunjangan, libur atau cuti tetapi tetap dibayar, dan
sebagainya. Kompensasi non-finansial seperti tugas yang menarik, tantangan tugas,
tanggung jawab tugas, peluang kenaikan pangkat, pengakuan, dan lain-lain.
Hansen dan Mowen (2000: 76) menyatakan tujuan kompensasi biasanya meliputi
berbagai insentif yang berkaitan dengan kinerja. Sasarannya adalah untuk menciptakan
kesesuaian tujuan, sehingga manajer akan menunjukkan kerja terbaiknya bagi
perusahaan.
Kompensasi merupakan salah satu strategi manajemen sumber daya manusia
untuk menciptakan keselarasan kerja antar staf dengan pimpinan perusahaan dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Hasil temuan Sim dan Killough
(1998) menyatakan bahwa kinerja yang tinggi dapat dicapai jika praktik TQM, digunakan
bersama dengan program kinerja yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif.
Praktik pemanufakturan TQM lebih berorientasi pada pemberdayaan karyawan sehingga pendesainan sistem kompensasi merupakan salah satu metoda yang paling penting untuk mengurangi dan memperkuat perilaku yang diinginkan untuk keberhasilan penerapan praktik pemanufakturan TQM. Dengan demikian karyawan mempunyai kontribusi atau memberikan informasi yang bermanfaat untuk peningkatan mutu seharusnya menerima reward dari manajemen (Milgrom dan Roberts, 1990, serta Ichniowski et al., 1997).
Ichniowski et al. (1997) menyatakan bahwa kinerja yang tinggi dasarnya
tergantung program pemberian insentif jika dihubungkan dengan pekerjaan yang
mendukung, meliputi penilaian kerja, informasi yang merata, dan keamanan kerja.
Pemberian insentif merupakan pemotivasian yang lebih kuat bagi karyawan untuk
meningkatkan kualitas kinerjanya.
f. Profit Center
Hasil penelitian Shih (2001) menyatakan bahwa beberapa perusahaan
mengevaluasi kinerja manajer pada profit. Perusahaan melakukan hal tersebut untuk
mendorong manajer mengejar mutu dan pelayanan pelanggan yang lebih baik. Profit
center merupakan variabel kontingensi yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem
pengendalian.
Fauzi (1994: 65) menyatakan profit center merupakan suatu pusat
pertanggungjawaban yang prestasi manajernya diukur dari laba yang diperoleh dalam
suatu perioda tertentu. Pembentukan profit center erat hubungannya dengan struktur
organisasi suatu perusahaan yang merupakan elemen penting struktur pengendalian.
Halim dan Tjahjono (2000: 92) menyatakan unit organisasi dalam organisasi
fungsional yang biasanya dijadikan profit center adalah unit organisasi produksi dan unit
organisasi pemasaran. Prestasi non-laba sebagai standar kinerja, tujuan jangka panjang
perusahaan tidak hanya mengejar laba yang memuaskan. Berikut ini contoh pendekatan
untuk mengukur prestasi dengan beberapa alat ukur: 1) profitability, 2) market position,
3) productivity, 4) personal development, dan 5) product leadership.
Kaliel (2000) menyatakan bahwa suatu profit center merupakan suatu aktivitas
produksi yang memfokuskan penciptaan 1) komoditas untuk penjualan dan 2) produk
untuk profit center. Supriyono (2000: 396) menyatakan pengukuran kinerja profit center
menggunakan dua macam cara yaitu: 1) pengukuran kinerja manajemen, seberapa
baiknya manajer dalam memimpin unit atau pusat pertanggungjawaban, sehingga prestasi
manajer diukur sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya serta 2) pengukuran
kinerja ekonomi, seberapa baiknya profit center sebagai unit kegiatan ekonomi dapat
mencapai atau memenuhi anggaran labanya.
2. Pengembangan Hipotesis
a. Interaksi TQM Dan Sistem Pengukuran Kinerja Terhadap Kinerja Manajerial
Penelitian Banker et al. (1993) memberikan bukti empiris bahwa frekuensi
pelaporan ukuran kinerja manufaktur pada karyawan, terkait dengan implementasi JIT,
team work, dan praktik TQM. Program peningkatan kualitas seperti TQM secara
individual dapat efektif jika perusahaan telah mengimplementasikan cara perbaikan
kualitas secara berkesinambungan, dibandingkan dengan organisasi pesaing lainnya yang
mengadakan improvement dengan tidak menggunakan teknik TQM.
Sistem pengukuran kinerja memiliki hubungan dengan praktik penerapan TQM.
Dengan sistem pengukuran kinerja yang terdiri dari serangkaian ukuran akan dapat
menilai kinerja manejerial, pengukuran kinerja dapat memberikan informasi untuk
mengambil keputusan tentang promosi dan gaji. Penelitian Kurnianingsih (2000)
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara praktik penerapan TQM
dengan sistem pengukuran kinerja terhadap kinerja manajerial.
Milgrom dan Roberts (1990) menyatakan bahwa berhasilnya implementasi teknik
pemanufakturan baru membutuhkan komplemen Sistem Akuntansi Manajemen yang
dapat diinteraksikan dengan sistem produksi untuk menghasilkan kinerja yang lebih
tinggi. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis alternatifnya sebagai berikut:
Hal : Interaksi antara penerapan TQM dan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif
terhadap kinerja manajerial.
Gambar 1
Model Pengaruh Interaktif Antara TQM Dan Sistem Pengukuran Kerja

b. Interaksi TQM Dan Sistem Reward Terhadap Kinerja Manajerial
Menurut Snell dan James (1992) sistem reward pada pemanufakturan tradisional
karyawan sebagai orang yang pasif, operator mesin yang tidak berpendidikan, dan benar-
benar terisolir. Sementara pada pemanufakturan TQM lebih menekankan pada
pemberdayaan karyawan, sehingga pendesainan sistem reward merupakan metoda yang
penting untuk mengurangi dan memperkuat perilaku yang diinginkan untuk keberhasilan
penerapan TQM.
Dengan demikian, karyawan yang memberikan informasi bermanfaat untuk
peningkatan mutu selayaknya menerima reward dari manajemen. Hasil penelitian Sim dan Killough (1998) menyatakan bahwa kinerja yang tinggi dapat dicapai jika praktik TQM digunakan bersama dengan program kinerja yang digunakan sebagai dasar pemberian atau reward. Ichniowski et al. (1997) menyatakan bahwa kinerja yang tinggi dasarnya
tergantung program pemberian reward. Penelitian Kurnianingsih (2000) menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara praktik penerapan TQM dengan sistem reward terhadap kinerja manajerial.
Hasil temuan tersebut menunjukkan pengaruh interaksi antara TQM dengan
menggunakan sistem reward terhadap kinerja, dengan demikian pemberian reward
merupakan pemotivasian yang kuat bagi karyawan untuk meningkatkan kualitas
kinerjanya. Berdasar uraian diatas maka hipotesis alternatifnya sebagai berikut:
Ha2 : Interaksi antara penerapan TQM dan sistem reward berpengaruh positif terhadap
kinerja manajerial.
Gambar 2
Model Pengaruh Interaktif Antara TQM Dan Sistem Reward

c. Interaksi TQM Dan Profit Center Terhadap Kinerja Manajerial
Praktik pemanufakturan TQM merupakan praktik yang menekankan peningkatan
kualitas, mengeliminasi pemborosan, mengembangkan ketrampilan agar tercapai
penyempurnaan mutu barang, dan jasa secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai
kepuasan konsumen. Praktik TQM tersebut lebih berfokus pada katerlibatan karyawan,
yang merupakan sumber yang sangat bernilai bagi organisasi.
Oleh karena itu hendaknya dilakukan proses pembentukan struktur organisasi
perusahaan menjadi struktur divisi, hal ini erat hubungannya dengan
pembentukan profit center. Umumnya suatu perusahaan membentuk divisi atau unit
usaha dengan maksud untuk mendelegasikan wewenang yang lebih banyak pada manajer
operasi.
Adanya profit center akan memberikan keuntungan bagi manajer yakni profit
center merupakan tempat pelatihan yang baik untuk menjadi seorang manajer yang andal
karena profit center hampir sama dengan perusahaan yang berdiri sendiri (Halim dan
Tjahjono, 2000: 90). Kesadaran laba lebih meningkat karena manajer divisi benar-benar
bertanggung jawab untuk meningkatkan laba divisinya karena nantinya merupakan
ukuran prestasi bagi manajer.
Kaliel (2000) menyatakan bahwa melalui pendekatan profit center, maka akan
mendapatkan kejelasan informasi manajemen, dapat mengidentifikasikan kelemahan dan
kekuatan operasional, serta dapat merencanakan dan menerapkan tindakan langsung
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Shih (2001) menyatakan bahwa
perusahaan tertentu mengevaluasi manajer pada profit untuk memonitor kinerja pada
perbaikan kualitas produk dan pelayanan pelanggan.
Metoda pengukuran profit center menggunakan pengukuran kinerja manajemen.
Pengukuran kinerja yang menekankan pada penilaian seberapa baik manajer suatu pusat
pertanggungjawaban bekerja. Pengukuran ini digunakan untuk proses perencanaan,
pengkoordinasian, pengendalian kegiatan, dan pemotivasian kerja manajer profit center.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatifnya sebagai berikut:
Ha3: Interaksi antara penerapan TQM dan profit center berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
Gambar 3
Model Pengaruh Interaktif Antara TQM Dan Profit Center

1. Populasi Dan Sampel
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dikirim melalui jasa pos. Subjek
yang menjadi target penelitian adalah manajer tingkat menengah dan manajer pemasaran
pada perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia dengan alasan manajer tingkat
menengah a) merupakan pelaksana keputusan manajemen puncak yang mampu
berinteraksi dengan karyawan dan manajemen puncak dan b) bisanya terlibat langsung
dengan kebijakan yang dilaksanakan oleh manajemen puncak. Subjek penelitian diseleksi
dari Indonesian Capital Market Directory 2000.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat diketahui bahwa
respon rate di Indonesia tergolong rendah yaitu sebesar 10%-16%, karena itu penulis
mengirim kuesioner sebanyak 150 kuesioner. Pengirimam kuesioner dilakukan pada
tanggal 27-10-2004, dan diharapkan sudah kembali pada tanggal 18-12-2004.
Sebelum kuesioner tersebut dikirim, terlebih dahulu dilakukan uji coba (pretest)
dengan tujuan menghindari adanya pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas serta untuk
mengetahui waktu yang diperlukan untuk mengisi secara lengkap. Dengan demikian akan
didapatkan masukan-masukan untuk memperbaiki kuesioner. Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan jumlah kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 1
Sampel Dan Tingkat Pengembalian
Jumlah sample 150
Jumlah kuesioner yang tidak kembali 126
Kuesioner yang kembali 24
Kuesioner yang digugurkan (misal: alamat salah, pindah 2
alamat, dsb)
Kuesioner yang digunakan 22
Tingkat pengembalian (response rate) 24/150*100%= 16,00%
Tingkat pengembalian yang digunakan (usable response 22/150*100%= 14,67%
rate)
2. Pengukuran Variabel
a. Peubah Terikat (Variabel Dependen)
Kinerja manajerial, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kinerja individu
dalam kegiatan-kegiatan manajerial diukur dengan menggunakan instrumen self rating.
Kinerja manajerial yang diukur meliputi delapan dimensi: perencanaan, investigasi,
pengkoordinasian, evaluasi, pengawasan, pemilihan staf, negosiasi dan perwakilan, serta
satu dimensi pengukuran kinerja seorang manajer secara keseluruhan.
b. Peubah Bebas (Variabel Independen)
1) Total Quality Management (TQM)
TQM dalam penelitian ini adalah filosofi yang menekankan peningkatan proses
pemanufakturan secara berkelanjutan melalui eliminasi pemborosan, meningkatkan
kualitas, pengembangan ketrampilan, dan mengurangi biaya produksi (Sim dan Killough,
1998). Variabel TQM ini mengukur persepsi manajer secara individual mengenai
penerapan teknik TQM dilingkungan perusahaannya, yang merupakan pengembangan
dari instrumen Banker et al. (1993).
Variabel TQM dalam penelitian ini diukur dengan memasukkan elemen utama
manajemen kualitas yaitu orientasi proses, elemen manusia, serta budaya kualitas. Setiap
responden diminta menilai penerapan TQM dari sangat tidak setuju (poin 1) berarti TQM
rendah sampai dengan sangat setuju (Poin 5) berarti TQM tinggi.
2) Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem pengukuran kinerja adalah pemberian informasi pada manajer dalam unit
organisasi yang dipimpin mengenai kualitas dalam aktivitas operasi perusahaan. Variabel
ini diukur dengan instrumen yang digunakan oleh Kurnianingsih (2000), frekuensi
pengukuran kinerja manajer yang diukur dalam skala numerik (angka) 1 (tidak pernah)
sampai dengan angka 5 (sangat sering). Skala rendah (1) untuk menunjukkan pengukuran
kinerja yang rendah dan skala tinggi (5) untuk menunjukkan pengukuran kinerja yang
tinggi.
3) Sistem Reward
Variabel ini berkaitan dengan sistem kompensasi yang ada dalam perusahaan.
Sistem kompensasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberian kompensasi
manajer yang terdiri atas: (a) pembayaran tetap saja dan (b) pembayaran tetap ditambah
variabel yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kinerja manajer.
Responden diminta untuk memilih alternatif sistem kompensasi yang berlaku:
(a) kompensasi ( gaji + tunjangan ) tetap saja, (b) kompensasi tetap + reward
nonkeuangan, (c) kompensasi tetap + reward keuangan, (d) kompensasi tetap + insentif
yang ditentukan berdasarkan kinerja individual, dan (e) kompensasi tetap + insentif yang
ditentukan berdasarkan kinerja kelompok. Instrumen ini digunakan skala rendah (1)
untuk menunjukkan sangat tidak memuaskan dan skala tinggi (5) untuk menunjukkan
akan sangat memuaskan.
4) Profit Center
Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengukuran prestasi bagi manajer
dengan dibentuknya profit center dalam perusahaan, kesadaran laba akan lebih meningkat
karena manajer divisi benar-benar bertanggung jawab untuk meningkatkan laba divisinya. Variabel ini diukur dengan instrumen yang digunakan oleh Shih (2001) dengan menggunakan instrumen self rating. Skala tersebut terdiri dari: 1 sampai dengan 3 untuk pengukuran dibawah rata-rata, 4 sampai 6 untuk pengukuran rata-rata, dan 7 sampai dengan 9 untuk pengukuran diatas rata-rata.
3. Metoda Analisis Data
Metoda statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda
dengan bantuan perangkat lunak SPSS for Windows. Metoda yang menghubungkan satu
variabel dependen dengan beberapa variabel independen, sesuai dengan hipotesis yang
diuji dalam penelitian.
Kinerja manajerial merupakan variabel dependen diprediksi dipengaruhi oleh
variabel-variabel independen, yaitu: TQM, sistem pengukuran kinerja, sistem reward,
profit center, interaksi antara TQM dengan sistem pengukuran kinerja, interaksi antara
TQM dengan sistem reward, interaksi antara TQM dengan profit center. Jika koefisien positif dan signifikan, maka interaksi antara TQM dengan system pengukuran kinerja, sistem reward maupun profit center mempengaruhi kinerja
manajerial, begitu juga sebaliknya. Dalam penelitian ini pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen diuji dengan tingkat signifikan α= 5%.
D. HASIL DAN ANALISA DATA
1. Gambaran Umum Responden
Tabel 2
Profil Responden (n = 22)
Jumlah Persentase ( % ) | |||
Gender | Laki - Laki | 8 | 36,4 |
Perempuan | 14 | 63,61 | |
Umur | 20 – 29 tahun | 3 | 13,7 |
30 – 39 tahun | 9 | 40,9 | |
> 40 tahun | 10 | 45,4 | |
Pendidikan | SMA | 2 | 9,09 |
Sarjana Muda ( D3 ) | 2 | 9,09 | |
Sarjana ( S1 ) | 14 | 63,63 | |
Master ( S2 ) | 4 | 18,18 | |
Masa Kerja | < 5 tahun | 4 | 18,18 |
5 – 10 tahun | 13 | 59,09 | |
> 10 tahun | 5 | 22,73 | |
Masa Jabatan | < 5 tahun | 18 | 63,64 |
5 – 10 tahun | 8 | 36,36 |
Profil 22 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ditunjukkan pada
Tabel 2. Mayoritas responden yang berpartisipasi adalah responden yang berjenis kelamin
laki-laki yaitu sebanyak 14 orang atau 63,6% dari total responden. Sisanya sebanyak 8
orang atau 36,4% dari total responden berjenis kelamin perempuan. Responden
berdasarkan umur, pendidikan, masa kerja, dan jabatan dapat dilihat lebih detail dalam
Tabel 2.
2. Diskripsi Statistik
Analisa didasarkan dari jawaban responden sebanyak 22 responden. Hasil
pengolahan data mengenai diskripsi statistik dapat dilihat pada Tabel 3
0 komentar:
Posting Komentar